Kabar baik: Indonesia bisa kok hidup tanpa TPA.
Secara teknologi? Siap.
Secara sistem? Bisa dibangun.
Secara pembiayaan? Ada jalannya.
Tapi kabar buruknya:
Yang belum siap justru… manusianya.
Teknologi Sudah Maju. Tapi Mental Masih Versi Beta.
- Insinerator tanpa BBM? Ada.
- Daur ulang skala lokal? Bisa.
- TPST berbasis warga? Sudah jalan.
Tapi pas disuruh bedain plastik sama sisa tulang ayam,
langsung bilang:
“Aduh ribet, lah. Gak ada waktu.”
Wahai rakyat modern…
kamu bisa hapal harga kopi di lima e-commerce,
tapi gak tahu beda antara residu dan organik?
Tanpa TPA, Kota Akan Lebih Sehat. Tapi Pikiranmu Masih Kotor.
TPA itu bukan solusi. Itu kuburan massal modern.
Kita tumpuk dosa ekologis di situ, sambil bilang:
“Nanti juga terurai sendiri.”
Sayangnya, yang terurai duluan bukan sampahnya—tapi kualitas udara dan akal sehat.
Kita ini bangsa yang katanya cinta tanah air,
tapi buang popok ke sungai yang sama dipakai buat wudhu.
Hebat, patriotisme level absurd.
Indonesia Bisa Tanpa TPA. Tapi Siap Nggak Kalau Kamu Disuruh Mulai dari Rumah?
Pilah?
Kompos?
Serahkan ke TPST lokal?
“Yah, nanti deh. Tunggu pemerintah kasih insentif.”
“Tunggu tetangga mulai duluan.”
“Tunggu tanggal merah.”
Semua ditunggu.
Yang gak ditunggu cuma kiamat ekologisnya.
Satu Rasa Sudah Buktikan: Tanpa TPA Itu Bukan Mimpi. Itu Mindset.
Kami nggak nunggu Pemda.
Kami nggak ngemis CSR.
Kami mulai dari gotong royong dan akal sehat yang tidak expired.
- Sampah organik kami olah jadi kompos & maggot.
- Plastik kami setor ke pengepul dan Bank Sampah.
- Residu kami musnahkan di desa, bukan dilempar ke TPA.
Kami buktikan: revolusi bisa dimulai dari ember.

Jadi, Indonesia Tanpa TPA? Sangat Bisa.
Tapi Kalau Kamu Masih Nungguin Gerobak Sampah Datang Seperti Ojek Online…
…ya selamat tinggal masa depan.
📍 https://saturasa.cr-enviro.com
💡 Karena langkah pertama hidup tanpa TPA bukan mesin canggih.
Tapi manusia yang berani ubah kebiasaan kuno.