Sejak dua dekade lalu, upaya memanfaatkan sampah sebagai sumber energi melalui proyek Waste-to-Energy (WTE) di Indonesia terus digarap, namun realisasinya kerap terhambat bahkan gagal beroperasi secara komersial. Berdasarkan Analisa Kendala dan Hambatan Proyek WTE oleh PT Centra Rekayasa Enviro, berikut poin-poin utama yang mengerem kesuksesan WTE di Tanah Air:

  1. Karakteristik dan Kualitas Sampah
    • Komposisi MSW sangat bervariasi (organik ~60 %, plastik, kertas, residu anorganik) dengan kadar air tinggi yang menurunkan nilai kalor dan memicu korosi peralatan.
  2. Kesiapan Teknologi dan Operasional
    • Banyak pilot WTE terhenti karena teknologi (TRL < 9) belum matang dan insinerator lokal masih berisiko bocor emisi dioxin.
    • Minimnya operator dan teknisi terlatih membuat downtime tinggi.
  3. Regulasi dan Perizinan
    • Proses Amdal, izin lingkungan, dan izin pembangkit (PLTU limbah) memakan waktu 1–2 tahun, dengan perubahan aturan di tengah jalan (PP 81/2012, Perpres 97/2017, PP 27/2020).
  4. Skema Pembiayaan dan Ekonomi Proyek
    • Capex ratusan miliar rupiah; tanpa feed-in tariff khusus, ROI sulit tercapai.
    • PLN belum memiliki mekanisme penyerapan daya WTE yang menarik—tarif listrik fosil masih lebih murah.
    • Subsidi tipping fee melalui DAK hampir 50 % sering terlambat dan terfragmentasi.
  5. Capaian dan Anggaran Pengelolaan Sampah
    • Dari ~34 jt ton sampah/tahun, hanya 59,8 % terkelola; sisanya 40,2 % belum tertangani dengan baik.
    • IKPSD banyak daerah masih < 60/100—tanda lemahnya integrasi hulu–hilir.
    • Rata-rata alokasi APBD hanya 0,64 % (rekomendasi minimal 3–4 %).
  6. Lokasi & Rasio Produksi Listrik
    • Lokasi WTE sering jauh dari grid utama → biaya sambungan tinggi.
    • Kapasitas sering oversupply lokal → PLN enggan membeli tanpa PPA jangka panjang.
    • Pasokan fluktuatif dari sampah tak konstan → kekhawatiran gangguan stabilitas grid.
  7. Faktor Sosial & Politik Lokal
    • Penolakan warga (“NIMBY”) terkait polusi udara & bau.
    • Konflik kepentingan BUMD vs. DPRD vs. eksekutif sering merevisi atau menghentikan proyek.
    • Pergantian kepala daerah kerap memicu restart spesifikasi, menguras waktu & anggaran.

Desentralisasi: Kunci Mempercepat Sasaran Pengelolaan Sampah

Menanggapi kompleksitas di atas, model desentralisasi WTE—dengan membangun instalasi berkapasitas kecil-menengah di tingkat kota/kabupaten atau bahkan kecamatan—menawarkan beberapa keunggulan:

  1. Dekat Sumber Sampah, Stabilitas Feedstock
    • Skala lebih kecil memudahkan integrasi dengan program 3R dan bank sampah lokal, sehingga pasokan umpan lebih homogen dan konstan.
  2. Perizinan dan Pendanaan Lebih Cepat
    • Proyek berkapasitas < 5 MW umumnya cukup dengan izin lingkungan yang lebih sederhana, mempercepat proses karena hanya perlu UKL/UPL tanpa perlu amdal dan investasi yang lebih terjangkau.
    • Skema pembiayaan mikro (skema kredit BUMD/UKM, crowd-funding hijau) lebih mudah diakses daripada investasi raksasa.
  3. Pemberdayaan Komunitas dan Keberlanjutan Sosial
    • Keterlibatan koperasi warga dan UMKM dalam pengelolaan bank sampah dan operasional WTE memperkuat dukungan publik.
  4. Peningkatan Kapasitas SDM Lokal
    • Proyek berskala menengah memungkinkan pelatihan operator tingkat kabupaten, menciptakan lapangan kerja hijau dan transfer teknologi.
  5. Replikasi dan Skalabilitas
    • Model yang berhasil di satu daerah dapat direplikasi ke wilayah lain tanpa menunggu proyek besar selesai, mempercepat pencapaian target 2029 “100 % sampah terkelola”.

Aksi Konkret untuk Satu Rasa

  1. Pilot Desentralisasi di 3 Kota Percontohan
    • Pilih kota dengan indeks pengelolaan sampah < 60 dan dukungan APBD memadai (misal: Kota X, Y, Z).
    • Bangun TPST Satu Rasa terdesentralisasi dengan cakupan Desa / Kelurahan, integrasikan bank sampah, pelatihan operator.
  2. Kemitraan BUMD & Swasta
    • Skema B2G (Business to Government) dengan jaminan tipping fee, insentif pajak dan subsidi bunga.
  3. Kampanye Edukasi & Sosialisasi
    • Libatkan Lurah, Camat, dan tokoh masyarakat dalam public hearing dan program 3R.
  4. Monitoring & Evaluasi Berbasis Digital
    • Gunakan aplikasi Satu Rasa untuk memantau feedstock, produksi listrik, dan indikator IKPSD secara real-time.

Dengan pendekatan desentralisasi sebagai solusi, Satu Rasa akan menjadi pionir translasi inovasi WTE yang lincah, responsif, dan inklusif—mewujudkan target pengelolaan sampah 2029 dan mendukung kedaulatan energi terbarukan di setiap sudut Indonesia.

 Save as PDF