
Ringkasan Berita
- Proyek Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) di Indonesia menghadapi tantangan besar dalam pembiayaan dan teknologi, meskipun pemerintah berupaya mempercepat pengelolaan sampah menjadi energi listrik untuk mengatasi masalah sampah yang semakin meningkat.
- Patriot Bond diluncurkan sebagai instrumen pembiayaan strategis untuk mendukung proyek PLTSa, dengan target menghimpun dana hingga Rp50 triliun, namun tantangan biaya dan pemilahan sampah tetap menjadi kendala utama.
- PLTSa dihadapkan pada isu lingkungan dan kesehatan, dengan kebutuhan teknologi yang kompleks dan investasi tinggi, serta risiko pencemaran udara yang memerlukan perhatian serius dalam perencanaan dan implementasi proyek.
* Ringkasan ini dibantu dengan menggunakan AI
Bisnis.com, JAKARTA — Berbagai cara dilakukan untuk mengatasi darurat masalah sampah di Indonesia.
Berdasarkan laporan kajian lingkungan hidup strategis rencana pembangunan jangka panjang nasional 2025-2045 yang dirilis Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), volume sampah nasional diperkirakan bakal naik mencapai 82,2 juta ton pada 2045. Pada 2025 ini, volume sampah nasional diproyeksi mencapai 63 juta ton.
Dalam laporan tersebut Bappenas menilai kemampuan mengelola sampah akan turun dalam beberapa tahun mendatang, seiring dengan meningkatnya populasi yang membuat produksi sampah semakin tinggi. Pada 2045 mendatang, proporsi sampah terkelola diprediksi bakal menurun. Pada 2025, diperkirakan sekitar 59,70% sampah bakal terkelola, sedangkan pada 2045, kemampuannya malah turun menjadi hanya 9,39%, menggunakan skenario business as usual.
Menurut data Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN) dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada 2024, volume sampah di Indonesia mencapai 34,2 juta ton, diperoleh dari 317 kabupaten/kota di seluruh Indonesia. Namun, baru 59,74% atau sekitar 20,4 juta ton sampah yang terkelola, sedangkan sampah yang tidak terkelola mencapai 40,26% atau setara 13,8 juta ton.
Dalam 5 tahun terakhir, sampah rumah tangga konsisten menjadi penyumbang sampah terbesar di Indonesia. Pada 2020, sampah rumah tangga berkontribusi 37,69% terhadap total timbulan sampah di Indonesia, jauh di atas sampah perkantoran, perniagaan, pasar, dan sumber-sumber lain. Pada 2021, proporsi sampah rumah tangga naik menjadi 48,9%, dan sempat turun tipis menjadi 40,23% pada tahun berikutnya. Pada 2023 sebanyak 60,46% timbulan sampah nasional merupakan sampah rumah tangga yang kemudian turun tipis menjadi 53,74% pada 2024.
Salah satu upaya pemerintah untuk mengatasi masalah sampah ini dengan mengolah menjadi sumber energi listrik melalui Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa). Presiden RI Prabowo Subianto dalam rapat terbatas bersama Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka dan sejumlah menteri Kabinet Merah Putih di Istana Merdeka, Jakarta, pada Senin (25/8/2025) meminta agar program pengelolaan energi berbasis sampah, waste to energy, dipercepat. Proses administrasi dipangkas menjadi 3 bulan agar target penyelesaian proyek dalam 18 bulan bisa tercapai.
Pada awalnya, proses administrasi memakan waktu 6 bulan dan masa pengerjaan selama 18 bulan, namun Presiden mendorong percepatan agar keseluruhan proyek bisa selesai lebih cepat dari target awal dua tahun. Program ini bertujuan menyelesaikan persoalan pengelolaan sampah yang mandek selama 10 tahun terakhir. Presiden Prabowo akan menerbitkan peraturan presiden (perpres) terkait pembangkit listrik tenaga sampah (PLTSa) pada bulan ini.
Namun demikian, dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PLN 2025-2034, terjadi penyusutan target kapasitas pembangkit listrik tenaga sampah (PLTSa) secara nasional. Dari yang sebelumnya direncanakan sebesar 518 megawatt (MW) dalam RUPTL 2021-2030, target tersebut direvisi turun menjadi hanya 453 MW dalam RUPTL 2025-2034. Penyusutan ini bahkan lebih terasa di jantung ekonomi Indonesia, yaitu pulau Jawa, Madura, dan Bali. Kapasitas PLTSa untuk wilayah ini dipangkas drastis dari 492 MW menjadi 399 MW, atau penurunan sebesar 93 MW.
Di sisi lain, pembangunan PLTSa ini memiliki tantangan pembiayaan karena pengelolaan sampah menjadi energi listrik membutuhkan investasi yang cukup mahal sehingga pengembangannya tidak ekonomis.
Menteri Lingkungan Hidup mengatakan Presiden Prabowo mempercepat pengendalian sampah nasional untuk mencapai target 100% pada 2029 sebagaimana ditetapkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN). Investasi yang diperlukan untuk mencapai target tersebut sebesar Rp300 triliun. Investasi itu diperlukan untuk mentransformasi 343 Tempat Pembuangan Akhir (TPA) yang masih menggunakan sistem open dumping atau menumpuk sampah secara terbuka tanpa pengelolaan menjadi minimal controlled landfill atau sanitary landfill. Diproyeksikan juga pembangunan Refuse Derived Fuel (RDF) dan PLTSa di 33 kota, pendirian 250 tempat pengolahan sampah terpadu (TPST) dan 42.000 TPS Reduce, Reuse, Recycle (TPS3R).
Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Yuliot Tanjung mengklaim setiap 1.000 ton sampah bisa diolah untuk menjadi listrik berkapasitas 20 MW. Menurutnya, PLTSa bisa menjadi solusi untuk mengurai sampah di perkotaan dan pasokan energi hijau pun bertambah. Pasalnya, sampah menjadi permasalahan di kota besar. Timbunan sampah secara nasional totalnya mencapai 33,8 juta ton per tahun. Sementara itu, sampah yang terkelola itu hanya sekitar 60%, sedangkan 40% sisanya masih dibuang sembarangan dan mencemari lingkungan.
Nantinya, perpres yang akan terbit pada bulan ini terkait pengelolaan sampah juga akan mengatur rencana PLTSa tersebut. Listrik yang dihasilkan melalui PLTSa akan diserap oleh perusahaan pelat merah yakni PT PLN (Persero) yang sekaligus melibatkan pemerintah daerah (Pemda). Pihaknya tak menampik terdapat tantangan pembiayaan dalam pemanfaatan PLTSa di Indonesia. Harga jual listrik PLTSa ke PLN dipengaruhi oleh komponen tambahan seperti tipping fee.
“Jadi yang selama ini kan harga jual listriknya kan ditentukan paling tinggi itu kan 13. Itu juga ada tambahan biaya lain. Untuk tambahan biaya lain itu adalah yang ini tipping fee. Jadi untuk tipping fee, ini banyak pemerintah daerah yang tidak mampu untuk mengalokasikan tipping fee, karena terbatasnya ruang fiskal yang ada di daerah. Nanti harga jual ke PLN itu sudah termasuk tipping fee-nya sekitar US$20 sen per kilowatt hour (kwh),” ujarnya, Rabu (10/9/2025).
Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa memastikan proyek pengelolaan sampah menjadi listrik atau waste to energy akan difasilitasi melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Rencananya, pembiayaan proyek tersebut akan melekat pada APBN. Meskipun belum merinci besaran anggarannya, namun pemerintah menyiapkan dukungan fiskal agar proyek strategis itu dapat berjalan. Proyek waste to energy dengan mengubah sampah menjadi listrik ini dipandang penting sebagai solusi ganda, yakni mengurangi permasalahan sampah sekaligus memperkuat bauran energi bersih nasional.
Menteri Koordinator Bidang Pangan Zulkifli Hasan mengatakan penyelesaian proyek pengolahan sampah menjadi energi listrik di 33 provinsi dalam waktu dua tahun. Proyek ini akan dilaksanakan oleh Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (Danantara) dengan skema investasi satu tarif sebesar US$0,20 per kWh.
“Dengan satu tarif 20 sen nanti, 3 sampai 6 bulan akan kita selesaikan proses perizinannya. Danantara akan melaksanakan pembangunan kira-kira 1 tahun sampai 1,5 tahun. Jadi, dua tahun soal sampah di 33 provinsi bisa kita selesaikan,” katanya.
PEMBIAYAAN PLTSa DARI PATRIOT BOND
CEO BPI Danantara Rosan Perkasa Roeslani menuturkan proyek PLTSa akan dimulai di 33 titik, dengan prioritas peluncuran di Jakarta, Bandung, Bali, Semarang, dan Surabaya.
“Jakarta sendiri akan ada empat titik dan akan melakukan tender secara terbuka transparan, sehingga harapannya sebelum akhir tahun ini bisa mulai proses,” ucapnya.
Dari sisi investasi, proyek ini terbuka bagi semua investor baik dalam maupun luar negeri. Namun, pemerintah telah menetapkan sejumlah parameter yang tidak bisa dinegosiasikan termasuk harga listrik dari sampah. Adapun standarisasi sudah ditentukan termasuk harga yang ditetapkan sebesar US$20 sen per kWh.
“Jadi tidak ada negosiasi lagi, harga sudah jelas 20 sen. teknologi seperti apa, industrinya seperti apa dan kita akan melakukan tender secara terbuka dan transparan,” tuturnya.
Terkait total nilai investasi, Rosan menyebut angkanya akan bervariasi berdasarkan kapasitas dan lokasi proyek. Skala proyek ini termasuk besar dan strategis untuk mengurangi ketergantungan terhadap TPA serta mendukung transisi energi bersih di Indonesia. Adapun kapasitas pengolahan sampah di setiap lokasi minimal 1.000 ton per hari. Namun, khusus di Jakarta, satu titik bisa menangani hingga 2.500 ton per hari, tergantung kebutuhan dan volume sampah.
“Tergantung, paling kecil dari 1.000 ton per hari sampai di atas 1.000 ton per hari, tetapi minimum 1.000 ton per hari. kalau di Jakarta satu titik bisa sampai 2.500 ton per hari,” ujarnya.
Adapun Danantara meluncurkan patriot bond pada bulan lalu dalam pertemuan bersama sejumlah pengusaha nasional di Jakarta. Obligasi patriot merupakan surat utang perdana yang diterbitkan oleh Danantara, yang diyakini dapat menghimpun dana hingga Rp50 triliun. Patriot bond diterbitkan dalam dua seri, yaitu seri dengan jangka tenor lima tahun dan tujuh tahun. Kedua seri tersebut menawarkan imbal hasil sebesar 2%.
Patriot bond merupakan instrumen pembiayaan strategis yang lazim digunakan di berbagai negara untuk memperkuat kemandirian pembiayaan nasional. Beberapa negara yang telah menggunakan skema obligasi patriot itu, di antaranya Jepang dan Amerika Serikat. Adanya patriot bond, negara dapat memperoleh sumber pendanaan jangka menengah hingga panjang yang stabil, sementara pelaku usaha memiliki akses kepada instrumen investasi yang aman dan bermanfaat bagi perekonomian nasional.
Rosan mengungkapkan beberapa konglomerat seperti Grup Djarum dan Prajogo Pangestu telah menunjukkan minatnya kepada patriot bond Danantara. Namun demikian, pihaknya tak membeberkan lebih detail.
“Semua ikut berpartisipasi kok,” ucapnya.
Chief Investment Officer BPI Danantara Pandu Sjahrir menambahkan Patriot Bond menjadi instrumen pembiayaan strategis yang lazim digunakan di berbagai negara, seperti Jepang dan Amerika Serikat. Instrumen itu digunakan untuk memperkuat kemandirian pembiayaan nasional.
“Skema ini membuka ruang bagi kelompok usaha nasional untuk berkontribusi pada agenda pembangunan lintas generasi, sekaligus memastikan keberlanjutan dan kesejahteraan masyarakat,” katanya.
Wakil Ketua Umum Koordinator Bidang Investasi, Hilirisasi, Energi, dan Lingkungan Hidup Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Bobby Gafur Umar menuturkan dengan penawaran obligasi yang rencananya diterbitkan senilai Rp50 triliun, pihak swasta dapat ikut serta ambil bagian menyelesaikan masalah sampah.
“Kami menyambut baik dengan adanya percepatan ini, tentu kami melihat solusi untuk kedaruratan sampah di Indonesia ini bisa secara komprehensif diselesaikan antara pemerintah dan swasta,” tuturnya.
BIAYA BESAR & KEEKONOMIAN
CEO Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa berpendapat penerbitan bond sejatinya harus punya tujuan yang jelas dan aset yang akan didanai dari hasil surat utang.
“Kalau dilihat dari nilai imbal balik patriot bond ini, maka saya melihat ini upaya Danantara mendapatkan dana murah dari pasar. Ini akan dipakai untuk mendanai proyek waste to energi bisa saja. Yang terpenting adalah dana patriot bond bisa meningkatkan bankability proyek, dan menurunkan biaya capex sehingga tarif listirk sebesar US$20 sen per kwh dapat tercapai,” ujarnya kepada Bisnis, Kamis (9/11/2025).
Indonesia menghasilkan 35 juta hingga 40 juta ton sampah setiap tahun dimana angka ini naik 3%-4% per tahun. Sampah tersebut dibuang dengan cara open dumping bukan sanitary landfill. Oleh karena itu, untuk mencapai 100% bebas sampah di 2029 maka harus terdapat puluhan fasilitas waste to energy yang dibangun di Indonesia.
“Ini mengingat waktu pembangunan waste to energi bisa 3-4 tahun per unit dimulai dari perencanaan hingga Commercial Operation Date (COD). Target 100% bebas sampah di 2029 bisa tercapai kalau dilakukan secara puluhan waste to energy serentak setiap tahun,” katanya.
Dia menambahkan sampah Indonesia 70% organik yang mengandung kadar air tinggi dan rendah kalori sehingga untuk dapat hasil maksimal tidak bisa langsung dibakar namun melalui pre-treatment dalam upaya menghasilkan energi listrik. Hal ini butuh tambahan biaya sehingga bisa menambah capital expenditure atau belanja modal.
“Pemerintah harus buat strategi untuk mengatasi sampah secara tuntas dan dilakukan pemilihan teknologi yang sesuai dengan karakter sampah di Indonesia. Sampah itu sesuai aturan merupakan tanggung jawab pemerintah kabupaten dan kota jadi perlu dilibatkan dalam mengatasi persoalan sampah. Solusi sampah tidak hanya waste to energy tetapi perlu strategi yang komprehensif dan konsisten diimplementasikan,” ucap Fabby.
Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengatakan biaya pengembangan teknologi PLTSa relatif lebih mahal dibandingkan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) atap dan pembangkit listrik tenaga mikro hidro (PLTMH). Hal ini karena pengembangan PLTSA membutuhkan pembiayaan US$5 juta hingga US$13 juta yang tergantung lokasi.
Selain itu, yang menjadi tantangan di Indonesia tidak semua sampah dapat diolah menjadi energi sehingga harus ada pemilahan. Semestinya, sampah yang berasal dari rumah tangga harus diolah terlebih dahulu dan tidak tercampur. Pasalnya, terdapat limbah yang berbahaya bagi PLTSa.
“Jadi yang mahal itu adalah pemilahan sampah. Kemudian ada tipping fee atau proses pemungutan sampah dari rumah tangga sampai ke tempat pembangkit listriknya, biaya transportasinya,” tuturnya kepada Bisnis, Kamis (11/9/2025).
Kemudian dari energi sampah ini, pembangkit sampah juga berdampak pada polusi udara karena dilakukan pembakaran sehingga cenderung kurang ramah lingkungan.
Menurutnya, PLTSa kurang bisa berkompetisi dengan pembangkit lainnya karena biaya penjualan dan pembelian listriknya dari PLN. Selama ini yang menjadi ketidakpastian adalah dari sisi jual beli listrik kepada PLN-nya karena dikategorikan sebagai Indonesian Power Produsen (IPP). Di sisi lain, PLN masih lebih efisien untuk memilih pembangkit energi terbarukan lainnya. Hal inilah yang menjadi salah satu permasalahan beban subsidi dari sisi PLN-nya jadi lebih mahal.
“Kalau investor sekarang lebih banyak kan PLTS terapung, terus banyak lagi pengembangan hidro dibandingkan sampah. Sampah itu sebenarnya sudah lama tapi tidak terlalu banyak menarik minat investor. Jadi investor dari Timur Tengah maupun dari China lebih tertarik soal PLTS terapung dan pembangkit lainnya. PLTSa dibandingkan batubara pun juga sebenarnya masih lebih efisien batu bara,” ujarnya.
Secara keekonomian, PLTSa cukup berat bagi PLN sebagai pembeli listriknya dan juga untuk investor. Hal ini berbeda dengan negara di Eropa dimana pada tingkat rumah tangga telah dilakukan pemilihan sampah dari yang bisa didaur ulang hingga yang berbahaya termasuk plastik.
“Pemilahan sampah sangat penting untuk memudahkan PLTSa. Biaya pemilihan ini memang sangat mahal sehingga susah untuk mencari internal rate of return atau return on investment dari pembangkit listrik tenaga sampah. Karena sangat bervariasi dengan variable yang lebih kompleks daripada pembangkit listrik tenaga terbarukan lainnya,” katanya.
Terpisah, Ketua Umum Asosiasi Produsen Listrik Swasta Indonesia (APLSI) Eka Satria menuturkan terdapat sejumlah tantangan dalam pengembangan PLTSa yakni keterbatasan lahan di perkotaan, kebutuhan air, pengendalian limbah dan residu berbahaya dari sampah, kepastian pasokan sampah yang konsisten, dan pembiayaan.
Kendati demikian, pihaknya menyambut baik penyelesaian revisi Perpres Nomor 35 Tahun 2018 tentang Percepatan Pembangunan Instalasi Pengolah Sampah Menjadi Energi Listrik Berbasis Teknologi Ramah Lingkungan.
Revisi beleid ini diharapkan membuka peluang lebih besar untuk berpartisipasi dengan pembagian risiko yang seimbang, serta adanya streamline dalam proses pengurusan perizinan yang menjadi lebih sederhana agar kepastian investasi semakin terjamin. Selain sebagai sumber energi bersih, PLTSa juga memiliki peran strategis dalam menjawab persoalan sampah yang saat ini menjadi masalah di hampir setiap kota di Indonesia.
“Regulasi ini menjadi langkah penting untuk mempercepat realisasi proyek PLTSa yang selama ini terkendala oleh aspek regulasi dan pembiayaan. Dengan pemanfaatan teknologi yang tepat, PLTSa dapat menjadi solusi dua arah yakni mengurangi beban sampah perkotaan dan menambah pasokan listrik yang ramah lingkungan,” ucapnya kepada Bisnis.
DAMPAK PENCEMARAN UDARA
Program Manager Plastic Smart Cities WWF Indonesia Sekti Mulatsih berpendapat transformasi sampah menjadi energi merupakan salah satu pendekatan yang tengah dikaji dan dikembangkan di berbagai kota.
“Dalam hal ini, kami memandang bahwa penggunaan teknologi yang memanfaatkan gas dari tempat pembuangan akhir (landfill gas extraction) maupun produksi energi dari biogas dapat menjadi bagian dari solusi transisi energi yang lebih ramah lingkungan, selama dijalankan dengan prinsip kehati-hatian dan standar lingkungan yang ketat,” tuturnya kepada Bisnis.
WWF Indonesia menekankan agar semua kebijakan dan teknologi yang digunakan dalam proyek pengolahan sampah menjadi energi listrik (PSEL) harus memiliki data ilmiah dan kajian dampak yang transparan. Hal ini penting untuk memastikan bahwa teknologi yang dipilih tidak menimbulkan risiko lingkungan dan kesehatan masyarakat di kemudian hari.
Dia berharap teknologi yang digunakan tidak menghasilkan emisi berbahaya dan jejak karbon yang tinggi dan menimbulkan sejumlah risiko lingkungan serta dapat berdampak pada kesehatan masyarakat.
“Oleh karena itu, perencanaan dan pemilihan teknologi harus dipertimbangkan secara serius dan mengedepankan aspek lingkungan dan kesehatan,” katanya.
Saat ini, tantangan berat proyek PSEL berupa pembangkit listrik tenaga sampah di 33 provinsi menghadang. Sejumlah isu seperti tingginya investasi, kebutuhan teknologi yang kompleks, kesiapan infrastruktur, serta potensi dampak lingkungan dan kesehatan menjadi penghambat utama, yang berisiko membuat proyek-proyek ini gagal mencapai tujuannya.