Di awal 2018, ketika saya tiba di gudang pengolahan sampah—TPST Kedungrandu, Patikraja—suasana masih kelam. Tumpukan sampah berserak, alat berat terparkir, dan langit-langit hanggar penuh debu. Di sanalah saya bertemu Pak Suyanto S.H., M.Hum., mantan Kepala DLH Banyumas yang berjibaku pada saat kondisi Darurat Sampah terjadi di Kabupaten Banyumas dan kini beliau adalah salah satu advisor dari tim Satu Rasa (Sampah Tuntas Rakyat Senang), Pak Yanto memimpin perubahan radikal di banyumas: beralih dari “kumpul–angkut–buang” menjadi “pilah–manfaat–musnahkan” langsung di sumbernya dan menghasilkan uang.

Setiap pagi, beliau memulai hari di Pendopo Si Panji, Purwokerto, memaparkan angka sederhana: dari sekitar 600 ton sampah per hari, hanya sebagian kecil yang diangkut Dinas. Sisanya harus dikelola oleh masyarakat. Dari situlah lahir kebijakan penanganan sampah tanpa retribusi dan tanpa angkut oleh DLH—semua warga dan instansi wajib memilah sampah di tempat masing-masing atau bermitra dengan Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM).
Pemerintah Kabupaten kemudian mewajibkan setiap kantor pemerintahan maupun usaha swasta bermitra dengan KSM jika tak bisa menangani sampah sendiri. Upaya ini dipantau langsung oleh camat, lurah, Babinsa, dan tokoh masyarakat, hingga delapan TPST baru pun berdiri dalam hitungan bulan.

Puncaknya datang saat tumpukan sampah tinggal 10 persen—sisanya berhasil diolah. Bekas TPA yang dulunya penuh limbah kini disulap menjadi TPA Berbasis Lingkungan & Edukasi (TPA BLE): pusat studi teknologi thermal, workshop bank sampah digital, hingga ruang belajar lapangan bagi pelajar SD, SMP, SMA, SMK banhkan hingga kampus dan universitas se-Indonesia datang belajar ke tempat ini. Transformasi ini mengundang perhatian media nasional dan undangan berbagi di forum internasional.
Kunci keberhasilan Banyumas sederhana: data krisis menjadi pemicu, keberanian memulai saat kondisi “sudah berantakan,” dan kepercayaan penuh kepada masyarakat untuk menjalankan program. DLH hanya menjadi fasilitator, KSM pemain utama, didampingi Babinsa, tokoh agama, dan advisor Satu Rasa seperti Pak Suyanto yang siap membagikan pengalaman berharga beliau dalam setiap sesi mentoring.

Beberapa waktu yang lalu, saya dan tim Satu Rasa termasuk Ir. Hari Rachmat (Direktur Sales & Engineering) mengunjungi beberapa TPST termasuk TPST Kedungrandu, Patikraja, di mana kami bertemu ketua KSM yaitu mbah Wahid, dan disana kami melihat bagaimana KSM belajar mengelola mesin pencacah plastik untuk bahan paving block, fermentor maggot, dan mesin RDF untuk bahan bakar pabrik semen. Hasilnya terasa: sampah berubah jadi pendapatan. Kompos terjual ke petani, maggot ke peternak, dan RDF ke industri semen.

Bagi daerah lain yang ingin meneladani, ingat langkah ini:
- Gunakan data darurat sampah sebagai momentum perubahan
- Alihkan pengelolaan ke KSM dengan skema iuran dan pelatihan
- Bangun TPST kecil sebelum bermimpi TPAT besar
- Libatkan seluruh pemangku kepentingan—dari RT/RW hingga sektor swasta
Sebagai founder Satu Rasa, saya bangga melihat bagaimana kolaborasi ini menjelma menjadi ekosistem yang menyejahterakan masyarakat dan memulihkan lingkungan. Satu Rasa hadir untuk memfasilitasi setiap langkah transformasi di berbagai daerah, menyediakan pelatihan teknis, model pendanaan, dan support system agar setiap pemerintah daerah bisa menyalurkan potensi sampah menjadi peluang ekonomi sirkular yang nyata. Dengan semangat gotong-royong dan inovasi terus-menerus, bersama kita wujudkan Indonesia bebas open dumping 2029.
Semoga bermanfaat dan salam lestari!
Dimas Satya Lesmana S.T., M.B.A.
Founder – SATU RASA